Sabtu, 28 Februari 2009

AL ITTIBAA’
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS Ali Imron ayat 31).

Kata al – ittibaa’ secara etimologi / Bahsa mempunyai beberapa kisaran arti diantaranya :

الإقتفاء : Mengikuti
الإقتداء : Mengikuti Langkah
اللحا ق بالشيئ : Menyusul Sesuatu
السير خلفه : Berjalan dibelakangnya

(lihat Mu’jamu Maqayis al lughoh 1/362, Lisan al –‘arab 8/27, atau mu’jam al wasith 1/81)

Ada pula beberapa kata yang hampir sama dengan kata al-Ittiba’, seperti:
• Mengikuti
• Meneladani
(Mufradat fazh al-Quran hal 3-4 & al-Qamus al-Fiqhiy Lughatan wa Isthilahah hal. 48-49)
Adapun berdasarkan penggunaannya dalam al-Quran, maka al-ittiba’ memiliki 7 makna, yaitu:
1. Ash Shuhbah : Menemani
Musa Berkata kepada Khidhr: "Bolehkah Aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang Telah diajarkan kepadamu (QS. Al-Kahfi (18); 66)
2. al Iqtidaa wal Mutaaba’ah : Mengikuti jejak langkah
Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. ( QS Yaaasin ayat 21)
3. al ’Amalu : Mengamalkan
102. Dan mereka mengikuti apa[76] yang dibaca oleh syaitan-syaitan
[76] Maksudnya: kitab-kitab sihir. ( Qs al Baqoroh ayat 102 ).
4. Ath Thoo’ah : Menta’ati

83. Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri[322] di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil Amri)[323]. kalau tidaklah Karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). ( QS An Nisaa ayat 83 ) lihat juga : Aslah al Wujuuh wa an nazha’ir hal.85, Basha’ir Dzawi at Tamyiz fi Latha’if al Kitaab al ’Aziiz 2/99//.

[322] ialah: tokoh-tokoh sahabat dan para cendekiawan di antara mereka.
[323] menurut Mufassirin yang lain maksudnya ialah: kalau suatu berita tentang keamanan dan ketakutan itu disampaikan kepada Rasul dan ulil Amri, tentulah Rasul dan ulil amri yang ahli dapat menetapkan kesimpulan (istimbat) dari berita itu.

Secara syari’ atau etimologi, kata Ittibaa’ adapat berarti seperti yang dikatakan oleh DR Thaha Jabir al ’Ulwaniy :
اللإتباع : الإ ئتمار بما أمر الله تعالى به و رسوله و ترسم أفعاله و أحواله للإقتداء بها
”merealisasikan apa yang diperintahkan Allah dan Rsul-Nya serta mencari kejelasan tentang berbagai perbuatan dan hal ihwal beliau untuk kemudian diikuti ( lihat : Al Ijtihad wa At Taqliid fil Islam hal 114 )
Atau seperti yang dikatakan oleh DR ’Abdullah bin Abdul Muhsin ’At Turkiy :
أن إتباع الإنسان ما أنزل الله على رسوله و الإنقياد للدليل يعد إتباعا لا تقليدا لأنه إتباع للأدلة و ليس لإقوال العلماء
” Ittiba’ seseorang terhadap wahyu yang diturunkan oleh Allah swt kepada Rasul-Nya dan menerima dengan total adalah Ittibaa’ yang terpuji dan bukan sebagai Taqlid yang mengikuti sesuatu dengan kebutaan karena pada dasarnya yang diikuti adalah Dalil bukan perkataan ulama ( Ushul Madzhab al Imaam Ahmad hal 686 )

Faishal bin ’Ali al Bu’daniy berkata :
الإقتداء و التأسي بالنبي (ص) في الإعتقادات و الأقوال و الأفعال و التروك بعمل مثل عمله على الوجه الذي عمله من إيجاب أو ندب أو إباحة أو كراهة أوحظر مع توفر القصدوالإرادة في ذلك
” Mengikuti dan meneladani Nabi saw, baik dalam Aqidah, ucapan, perbuatan maupun dalam apa-apa yang beliau tinggalkan, sesuai engan yang bgeliau kerjakan baik bersetatus hukum wajib,sunnah,mubah maupun makruh ataupun haram disertai dengan iradah/keinginan alam ’Ittibaanya tersebut ( lihat Huquuq an Nabiy saw Bayna al Ijlaal wa al Ikhlaal ) dan inilah yang menjadi ruang lingkup al Ittibaa’.
dari definisi diatas termasuk adanya Ittibaa’ yang tercela yaitu Taqliid (mengikuti tanpa dalil), sehingga disimpulkan oleh para ulama sebagai berikut :
التقليد : مطلق المتابعة و الإتباع : المتابعة فيما قام الدليل عليه و من هنا كان التقليد منهيا عنه و كانت المتابعة مشروعة
” Taqliid adalah mengikuti secara mutlak sedangkan ittibaa adalah mengikuti sesuatu yang didukung oleh dalil, oleh karena itu Taqliid dilarang sedangkan Ittibaa’ disyari’atkan)
( lihat : Al Ijtihad wa At Taqliid fil Islam hal 115 )
Sedangkan lawan dari al Ittibaa adalah al Mukhollafah yaitu menyelisihi Rasulullah saw baik itu dalam Itiqod maupun Qoul, af’aal dan at Tark, mukhollafah ini merupakan sebuah keyakinan seseoarang yang berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw dan mengamalkan apa – apa yang berbeda dengan Rasul saw.
Ittibaa’ kepada perbuatan Rasul melingkupi 3 bentuk :
1. al ‘Af’aal al Jibilliyyah ( Perbuatan yang tergolong tabiat kemanusiaan) yang hal ini terbagi menjadi dua :
a. bagian yg ditekankan oleh nash untuk dikerjakan atau wajib atau anjuran seperti makan dengan tangan kanan, makan minum sambil duduk dsb.
b. bagian yang tidak ada nash yang menekankan pensyari’atannya, dimana para jumhur berpendapat bahwa hukumnya adalah Mubah, sedangkan perbuatan lain yang dikategorikan dalam ‘Af’aal Jibilliyyah adalah apa – apa yang dikaerjakan oleh Rasulullah saw karena “ AL ‘URF” (adat kebiasaan) seperti memakai jubah,sorban dsb dimana hukumnya adalah Mubah sampai terdapat Dalil yang menunjukan pensyari’atannya ( lihat ‘Af ‘Al an Nabiy saw oleh al Asyqor 1/235 – 236).
2. perbuatan - perbuatan Rasul yang hanya khusus baginya, dimana hal ini merupakan sesuatu yang berasal dari Rasul saw dan ditekankan oleh nash bahwa ini dikhusukan untuk beliau seperti puasa Wishol, bahwa selain beliau maka dilarang untuk melakukannya, Istri-istri beliau harus bertabir/bicara dibalik tabir sekalipun yg diajak bicara adalah seoarang yang buta, tidak ada perintah untuk menceraikan istri-istrinya meski lebih dari 4 orang,yang berarti bukan undang-undangan atau perintah untuk dilakukan oelh selainnya.
3. Perbuatan – perbuatan Ta’abuddiyyah seperti perkataan, perbuatan dan penetapan dari Rasulullah saw yang merupakan Syari’at yang harus dilakukan oleh kaum muslimin.


Tanda & Bukti Ittibaa’ seperti dijelaskan dalam Firman Allah swt dan Sunnah Rasuln-Nya :
1. Ta’zhim (hormat pada Nash-nash Syari’)
51. Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka[1045] ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh". dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung.
[1045] Maksudnya: di antara kaum muslimin dengan kaum muslimin dan antara kaum muslimin dengan yang bukan muslimin.

2. Takut Tergelincir dan berpaling dari kebenaran
إن المؤمنين يرى ذنوبه كأنه قاعد تحت جبل يخاف أن يقع عليه, وإن الفجار يرى ذنوبه كذباب
مر على أنفه فقال به هكذا (رواه البخارى رقم : 6308)

3. Meneladani Rasulullah saw Totalitas dalam Ittibaa’nya, dimana tidak ada masalah aqidah, politik, social akhlaq, moral, al dustuur/perundang-undangan kecuali semuanya total mengikti Rasulullah seperti yang telah ditetapkan dalam Al Quran dan Sunnah Rasul-Nya. (lihat QS Al Ahzaab ayat 21)
4. Menjadikan Syari’at beliau sebagai hukum dan Undang-undang dan penentu kebijakan ( QS An Nisaa ayat 59 & 65)
5. Ridha dengan hukum dan Syari’at Rasulullah saw :
ذاق طعم الإيمان من رصي الله ربا و بالإسلام دينا و بمحمد رسولا (رواه مسلم 1/62 رقم34)
“yang dapat merasakan nikmatnya Iman adalah yang Ridho Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai Agamanya dan Muhammad sebagai Rasulnya”
Faedah Ittibaa’ kepada Rasulullah saw :
1. Mendapatkan Hidayah Allh swt ( QS Al Maaidah ; 15-16)
2. Memperoleh keberuntungan ( QS Al A’raaf 175)
3. Tsabat (Teguh) diatas kebenaran ( QS Ali Imron 173-174)
4. Mendapatkan perlindungan dan Pertolongan ( QS Al Anfaal 64 atau QS Ali Imron ayat 55)
5. diakhirat bergabung dengan barisan para Nabi ( QS An Nisaa ayat 69)
6. Mendapatkan keluarga yang ikut menapaki jalan Ittibaa’ ( QS Ath Thuur ayat 21)
7. Terhindar dari Rasa Takut & Sedih ( QS Al Baqarah ayat 38)
8. memperoleh pintu Taubat & Ampunan ( QS at Taubah: 117)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar