Sabtu, 28 Februari 2009

AL ITTIBAA’
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS Ali Imron ayat 31).

Kata al – ittibaa’ secara etimologi / Bahsa mempunyai beberapa kisaran arti diantaranya :

الإقتفاء : Mengikuti
الإقتداء : Mengikuti Langkah
اللحا ق بالشيئ : Menyusul Sesuatu
السير خلفه : Berjalan dibelakangnya

(lihat Mu’jamu Maqayis al lughoh 1/362, Lisan al –‘arab 8/27, atau mu’jam al wasith 1/81)

Ada pula beberapa kata yang hampir sama dengan kata al-Ittiba’, seperti:
• Mengikuti
• Meneladani
(Mufradat fazh al-Quran hal 3-4 & al-Qamus al-Fiqhiy Lughatan wa Isthilahah hal. 48-49)
Adapun berdasarkan penggunaannya dalam al-Quran, maka al-ittiba’ memiliki 7 makna, yaitu:
1. Ash Shuhbah : Menemani
Musa Berkata kepada Khidhr: "Bolehkah Aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang Telah diajarkan kepadamu (QS. Al-Kahfi (18); 66)
2. al Iqtidaa wal Mutaaba’ah : Mengikuti jejak langkah
Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. ( QS Yaaasin ayat 21)
3. al ’Amalu : Mengamalkan
102. Dan mereka mengikuti apa[76] yang dibaca oleh syaitan-syaitan
[76] Maksudnya: kitab-kitab sihir. ( Qs al Baqoroh ayat 102 ).
4. Ath Thoo’ah : Menta’ati

83. Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri[322] di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil Amri)[323]. kalau tidaklah Karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). ( QS An Nisaa ayat 83 ) lihat juga : Aslah al Wujuuh wa an nazha’ir hal.85, Basha’ir Dzawi at Tamyiz fi Latha’if al Kitaab al ’Aziiz 2/99//.

[322] ialah: tokoh-tokoh sahabat dan para cendekiawan di antara mereka.
[323] menurut Mufassirin yang lain maksudnya ialah: kalau suatu berita tentang keamanan dan ketakutan itu disampaikan kepada Rasul dan ulil Amri, tentulah Rasul dan ulil amri yang ahli dapat menetapkan kesimpulan (istimbat) dari berita itu.

Secara syari’ atau etimologi, kata Ittibaa’ adapat berarti seperti yang dikatakan oleh DR Thaha Jabir al ’Ulwaniy :
اللإتباع : الإ ئتمار بما أمر الله تعالى به و رسوله و ترسم أفعاله و أحواله للإقتداء بها
”merealisasikan apa yang diperintahkan Allah dan Rsul-Nya serta mencari kejelasan tentang berbagai perbuatan dan hal ihwal beliau untuk kemudian diikuti ( lihat : Al Ijtihad wa At Taqliid fil Islam hal 114 )
Atau seperti yang dikatakan oleh DR ’Abdullah bin Abdul Muhsin ’At Turkiy :
أن إتباع الإنسان ما أنزل الله على رسوله و الإنقياد للدليل يعد إتباعا لا تقليدا لأنه إتباع للأدلة و ليس لإقوال العلماء
” Ittiba’ seseorang terhadap wahyu yang diturunkan oleh Allah swt kepada Rasul-Nya dan menerima dengan total adalah Ittibaa’ yang terpuji dan bukan sebagai Taqlid yang mengikuti sesuatu dengan kebutaan karena pada dasarnya yang diikuti adalah Dalil bukan perkataan ulama ( Ushul Madzhab al Imaam Ahmad hal 686 )

Faishal bin ’Ali al Bu’daniy berkata :
الإقتداء و التأسي بالنبي (ص) في الإعتقادات و الأقوال و الأفعال و التروك بعمل مثل عمله على الوجه الذي عمله من إيجاب أو ندب أو إباحة أو كراهة أوحظر مع توفر القصدوالإرادة في ذلك
” Mengikuti dan meneladani Nabi saw, baik dalam Aqidah, ucapan, perbuatan maupun dalam apa-apa yang beliau tinggalkan, sesuai engan yang bgeliau kerjakan baik bersetatus hukum wajib,sunnah,mubah maupun makruh ataupun haram disertai dengan iradah/keinginan alam ’Ittibaanya tersebut ( lihat Huquuq an Nabiy saw Bayna al Ijlaal wa al Ikhlaal ) dan inilah yang menjadi ruang lingkup al Ittibaa’.
dari definisi diatas termasuk adanya Ittibaa’ yang tercela yaitu Taqliid (mengikuti tanpa dalil), sehingga disimpulkan oleh para ulama sebagai berikut :
التقليد : مطلق المتابعة و الإتباع : المتابعة فيما قام الدليل عليه و من هنا كان التقليد منهيا عنه و كانت المتابعة مشروعة
” Taqliid adalah mengikuti secara mutlak sedangkan ittibaa adalah mengikuti sesuatu yang didukung oleh dalil, oleh karena itu Taqliid dilarang sedangkan Ittibaa’ disyari’atkan)
( lihat : Al Ijtihad wa At Taqliid fil Islam hal 115 )
Sedangkan lawan dari al Ittibaa adalah al Mukhollafah yaitu menyelisihi Rasulullah saw baik itu dalam Itiqod maupun Qoul, af’aal dan at Tark, mukhollafah ini merupakan sebuah keyakinan seseoarang yang berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw dan mengamalkan apa – apa yang berbeda dengan Rasul saw.
Ittibaa’ kepada perbuatan Rasul melingkupi 3 bentuk :
1. al ‘Af’aal al Jibilliyyah ( Perbuatan yang tergolong tabiat kemanusiaan) yang hal ini terbagi menjadi dua :
a. bagian yg ditekankan oleh nash untuk dikerjakan atau wajib atau anjuran seperti makan dengan tangan kanan, makan minum sambil duduk dsb.
b. bagian yang tidak ada nash yang menekankan pensyari’atannya, dimana para jumhur berpendapat bahwa hukumnya adalah Mubah, sedangkan perbuatan lain yang dikategorikan dalam ‘Af’aal Jibilliyyah adalah apa – apa yang dikaerjakan oleh Rasulullah saw karena “ AL ‘URF” (adat kebiasaan) seperti memakai jubah,sorban dsb dimana hukumnya adalah Mubah sampai terdapat Dalil yang menunjukan pensyari’atannya ( lihat ‘Af ‘Al an Nabiy saw oleh al Asyqor 1/235 – 236).
2. perbuatan - perbuatan Rasul yang hanya khusus baginya, dimana hal ini merupakan sesuatu yang berasal dari Rasul saw dan ditekankan oleh nash bahwa ini dikhusukan untuk beliau seperti puasa Wishol, bahwa selain beliau maka dilarang untuk melakukannya, Istri-istri beliau harus bertabir/bicara dibalik tabir sekalipun yg diajak bicara adalah seoarang yang buta, tidak ada perintah untuk menceraikan istri-istrinya meski lebih dari 4 orang,yang berarti bukan undang-undangan atau perintah untuk dilakukan oelh selainnya.
3. Perbuatan – perbuatan Ta’abuddiyyah seperti perkataan, perbuatan dan penetapan dari Rasulullah saw yang merupakan Syari’at yang harus dilakukan oleh kaum muslimin.


Tanda & Bukti Ittibaa’ seperti dijelaskan dalam Firman Allah swt dan Sunnah Rasuln-Nya :
1. Ta’zhim (hormat pada Nash-nash Syari’)
51. Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka[1045] ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh". dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung.
[1045] Maksudnya: di antara kaum muslimin dengan kaum muslimin dan antara kaum muslimin dengan yang bukan muslimin.

2. Takut Tergelincir dan berpaling dari kebenaran
إن المؤمنين يرى ذنوبه كأنه قاعد تحت جبل يخاف أن يقع عليه, وإن الفجار يرى ذنوبه كذباب
مر على أنفه فقال به هكذا (رواه البخارى رقم : 6308)

3. Meneladani Rasulullah saw Totalitas dalam Ittibaa’nya, dimana tidak ada masalah aqidah, politik, social akhlaq, moral, al dustuur/perundang-undangan kecuali semuanya total mengikti Rasulullah seperti yang telah ditetapkan dalam Al Quran dan Sunnah Rasul-Nya. (lihat QS Al Ahzaab ayat 21)
4. Menjadikan Syari’at beliau sebagai hukum dan Undang-undang dan penentu kebijakan ( QS An Nisaa ayat 59 & 65)
5. Ridha dengan hukum dan Syari’at Rasulullah saw :
ذاق طعم الإيمان من رصي الله ربا و بالإسلام دينا و بمحمد رسولا (رواه مسلم 1/62 رقم34)
“yang dapat merasakan nikmatnya Iman adalah yang Ridho Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai Agamanya dan Muhammad sebagai Rasulnya”
Faedah Ittibaa’ kepada Rasulullah saw :
1. Mendapatkan Hidayah Allh swt ( QS Al Maaidah ; 15-16)
2. Memperoleh keberuntungan ( QS Al A’raaf 175)
3. Tsabat (Teguh) diatas kebenaran ( QS Ali Imron 173-174)
4. Mendapatkan perlindungan dan Pertolongan ( QS Al Anfaal 64 atau QS Ali Imron ayat 55)
5. diakhirat bergabung dengan barisan para Nabi ( QS An Nisaa ayat 69)
6. Mendapatkan keluarga yang ikut menapaki jalan Ittibaa’ ( QS Ath Thuur ayat 21)
7. Terhindar dari Rasa Takut & Sedih ( QS Al Baqarah ayat 38)
8. memperoleh pintu Taubat & Ampunan ( QS at Taubah: 117)

Minggu, 22 Februari 2009

Bagaimanakah Cara Mengangkat Imam Sholat

TATA CARA MENGANGKAT SEORANG IMAM SHOLAT

Imam merupakan kedudukan mulia dan harus dijaga agar Natijah / hasil dari solat itu bisa berdampak positif kepada para makmum setelah selesai solat berjama’ah. Orang yang mengimami solat hendaklah orang yang mahir dalam membaca al Quran sesuai dengan kaidah bacaan yang telah dicontohkan oleh Rasululloh saw kepada para sahabatnya hingga sampai pada kita semua, seperti sabda Rasulullah saw, “ bahwa yang menjadi imam bagi umat/kaum adalah yang paling mahir dalam membaca AL quran “ ( lihat dikitab muslim jilid III bab haq Al Imaamah) , lalu bagaimanakah jika seorang yang ummiy (menurut Imam Syafi’i, juga Imam Hambali bahwa Ummi berarti tidak mampu/belum bisa membaca Al-Fatihah sesuai dengan kaidah, baik dari segi makhroj, atau hak huruf dan yang lainnya) atau bagaimana jika seorang yang lahnul jaliy mengimami sholat ? (Lahnul Jaliy yaitu orang yang membaca al-Quran dengan kaidah yang salah misalkan panjang jadi pendek, tidak bisa membedakan makhraj setiap huruf hingga menyalahi arti sebenarnya dari al-quran, yang hal ini dipandang Haram oleh para ulama hadits dan para fuqaha (lihat Al-Fatawa). Di bawah ini akan dikemukakan pendapat para ulama jika seorang ummiy atau lahnul jaliy menjadi imam :
1. Menurut Imam Syafi’I, Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad, tidak sah seseorang yang bacaannya lebih shohih bermakmum kepadanya, dan harus mengulang sholatnya. (Lihat kitab Bahrur Ra’iiq I / 382, At Taajul Iklil II / 98, Al Majmu IV / 166 dan Al Insaf II / 268.
2. Menurut Atho' bin Rabah, Qatadah, Al Muzani, abu Tsaur dan Ibnu Mundzir boleh bermakmum kepadanya dengan alasan imam yang ummi/lahnul jaliy tersebut hanya tidak sempurna dari satu rukun saja.
3. Menurut satu riwayat dalam mazhab Asy Syafi’I dan Hambali bahwa seorang yang lebih bagus bacaannya dan banyak hafalannya boleh bermakmum kepadanya (ummi dan lahnul jaliy) pada sholat sir saja sedangkan tidak boleh dalam sholat berjama’ah jahriyah (Al Majmu IV / 167 dan Al Mughni II / 30)
4. Dalam kitab Al Insaf dan Al Mughni dikatakan bahwa seorang yang ummiy mengimami orang-orang yang ummiy maka keduannya sah sholatnya ,sedangkan Makmum yang bacaan lebih shohih harus mengulang, akan tetapi jika seorang ummi mengimami hanya satu makmum yang lebih baik dari dari imam dari bacaan dan hafalannya maka keduanya sholanya batal. (Lihat Al Insaf II / 268 – 270, juga Al Mughni II / 30 – 41).

Kesimpulan dari pendapat diatas adalah :
“Seorang yang umiiy tidak boleh diangkat menjadi imam sedangkan ada yang lebih berhak darinya, seorang yang lebih baik bacaannya tidak boleh bermakmum dari awal, jika si QARI (yang bacaannya baik) tidak tahu keadaan imam yang ummi, maka sah sholatnya, sedangkan dalam kitab fatawa disebutkan bahwa para ulama sepakat bahwa “Seorang yang bacaan Fatihahnya dan bacaanya Quran-nya masih lahnul jaliy maka tidak sah diangkat menjadi imam”. Di bawah ini akan di kemukakan yang berkaitan dengan memilih seseorang untuk dijadikan imam sholat :

1. Dari amar Ibnu Salamah, bahwasannya ayahnya mengabarkan yang benar-benar dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda: “Maka hendaklah yang paling banyak hafalannya diantaramu menjadi imam, kemudian Amar berkata: “Waktu itu orang-orang mencari, dan tidak mendapati yang hafalannya melebihi aku, maka mereka memajukan atau menjadi imam, padahal aku masih berumur 9 tahun”. (HR.Bukhari, Abu Dawud dan an Nasi’I)
2. Dari Ibnu Mas’ud ra. Bahwasannya Rasulullah saw bersabda: “Yang mengimami kaum adalah yang paling pandai dalam membaca al-Quran diantara mereka, jika sama maka carilah yang paling banyak mengetahui akan sunah, jika sama pula maka yang pertama berislam, dan jika masih sama maka cari yang pertama berhijrah diantara mereka maka jika tetap sama pilihlah yang paling tua..” (HR. Muslim)

Sumber : Kitab Fathul Baari Karangan Ibnu Hajar Al Asqolani, Shohih Muslim Bisy Syarhi An Nawawi Bab Ahaqul Imamah, Kitab Sholatul Jama'ah DR Sholih bin Ghonim ad Sadlan, Qoul Mubin Fi Akhtoil Mushollin karangan Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Mahmud bin Salman dari Daar Ibnu Al Qoyyim

Selasa, 17 Februari 2009

Risalah Tarawih dari berbagai Kitab

Risalah Sholat Tarawih dari berbagai kitab

Tadarruj / Tahapan disunahkannya Sholat tarawih
Tarawih adalah : jamak dari Tarwiihah atau Tarwiihatu linnafs, atau Istirohah yaitu istirahat dari kesibukan dan kelelahan. Tarawih dalam usul adalah nama bagi duduk secara umum dan disebut duduk yang dilakukan setelah empat raka’at di malam Ramadhan yang dilakukan untuk istirahat. Dan disebut sholat tarawih karena mereka adalah berdiri panjang/lama dan didalamnya ada duduk disetiap 4 raka’at untuk istirahat, dan sholat tarawih dia adalah berdiri dibulan Ramadhan, 2 (dua) 2 (dua) walaupun terjadi perbedaan diantara fuqaha mengenai hitungan raka’atnya. Para Fuqaha bersepakat akan Sunnahnya sholat Tarawih, dari Madzhab Hanafiyyah dan sebagian dari Malikiyyah menyatakan sunnah muakkadah, dan itu merupakan sunnah bagi laki-laki maupun perempuan dan ia adalah merupakan bagian dari syiar-syiar agama yang jelas/Zhahir.

Dan sungguh telah disunnahkan oleh Rasul saw Sholat tarawih dan memberikan dorongan untuk melakuknnya. Maka bersabdalah Rasulullah saw : sesungguhnya Allah swt telah mewajibkan kepada kalian saum dibualn Ramadhan dan telah aku sunahkan kepada kalian akan Sholatnya……

At Targhib Al Muthlaq : seperti yang telah disampaikan oleh abu Hurairah ra dalam Shohih Muslim dan begitu pula dari al Baihaqi juz 2 halaman 492 apa-apa yang dinashkanya bahwasannya Rasulullah saw bersabda : " barangsiapa yang berdiri dibulan Ramadhan dengan iman dan megharapkan balasan Allah swt maka Akan diampukan baginya dosa-dosanya yang telah lalu (diriwayatkan oleh Muslim dalam shohih muslim dari yahya bin yahya,diriwayatkan oleh Bukhori dari yahya bin Bakir, dan ini adalah sebuah dorongan tanpa batas dan tidak ada keharusan dalam melaksankannya, dan untuk ini Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah saw mendorong orang-orang untuk berdiri dibulan Ramadhan tanpa menjadikannya sebuah kewajiban.

Kemudian datang nash-nash yang menjadikan Qiyam dibulan Ramadhan sebuah Sunnah seiring dengan difardhukannya ibadah Shaum dibulan Ramadhan.(seperti keterangan diatas)
Buah dari Targhib/dorongan atas hal itu adalah : mendorong untuk manusia bersegera melaksanakan sholat malam/qiyam dibulan ramadhan,baik itu sendiri-sendiri atau berjama’ah bersama seorang imam yang memiliki bacaan al quran(hafal Al Quran), seperti hadits dari siti Aisyah r.ah : “adalah para sahabat sholat dimasjid Rasulullah saw, dimalam pada bulan Ramadhan terpisah2, ada yang bersama meraka 5 atau 6 orang atau lebih mereka sholat bersamanya. Kemudian keluarlah Rsulullah saw dari kamarnya setelah Isya terakhir, maka berkumpulah orang2 dan sholat bersama Rasulullah saw, dengan sholat yang panjang sepanjang malam. Kemudian beliau masuk kekamarnya dan meningalkan Al Hashir/tikar ditempatnya, maka saat siang hari kejadian malam tadi menjadi pembicaraan, maka malamnya masjid penuh dengan orang-orang dan sholat bersama rasulullah sampai akhir sholat Isya, kemudian beliau (Rasulullah saw) masuk kekamarnya, akan tetapi orang2 tetap berdiam, maka beliau bertanya apa yang mereka inginkan? Aisyah menjawab mereka ingin sholat bersamamu seperti malam kemarin, maka beliau berkata : lipatlah tikar mu ya Aisyah!...........sampai Rasulullah saw berkata :” aku khawatir ini menjadikan sesuatu yang wajib bagi kalian, maka lakukanlah amal sesuaia dengan kamampuanmu, karena sesungguhnya Allah tidak pernah bosan sampai enhgkau bosan.

Tarawih : Kitab Majmu Al Fatawa karangan Imam Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah :
Beliau menyimpulkan bahwa Sholat malam Rasulullah saw dibulan Ramadhan atau dibulan lainnya adalah beliau tidak biasa menambah lebih dari sebelas raka’at, akan tetapi sholat beliau (Rasulullah saw) sholat yang panjang. Maka ketika umat merasakan berat, ubay bin ka’ab mengimami orang – orang dijaman Umar bin Khotob 20 raka’at dan witir setelahnya, dan meringankan berdiri dengan menggandakan roka’at sebagai pengganti panjangnya berdiri.dan adalah sebagian dari ulama salaf sholat 40 rakaat maka berdirinya mereka itu lebih ringan dan witir setelahnya dengan tiga rakaat. Dan sebagian ada yang sholat 36 rakaat dan witir setelahnya dan yang terkenal dari mereka adalah melakukannya setelah sholat isya terakhir. (Disni para sahabat ingin mencontoh rasulullah saw dengan panjang berdiri, akan tetapi merasa berat, maka bacaannya tetap panjang seperti Rasulullah saw, namun roka’atnya lebih banyak ( misalkan Rasulullah membaca QS Al Baqorah dengan 2 rakaat, maka para Sahabat melakukannya dengan 4 rokaat)

Tarawih : Kitab Fiqhus Sunnah karya Sayyid Sabiq :
Syaikh Sayyid Sabiq ( setelah mengutip berbagai hadits yang mensifati sholat Rsulullah saw dimalam hari) beliau mengatakan bahwa hadits yang disampaikan oleh Siti Aisyah mengenai “ Yusholli Arba’an” ada dua kemungkinan yang pertama adalah Muttashilatbersatu (4-4-3) sesuai dengan Zahirnya hadits, sedangkan yang kedua adalah mungkin saja Munfashilat/terpisah, namun hal ini jauh dari zahir hadits kecuali ditetapkan dengan hadits sholat Rasulullah saw dimalam hari adalah “matsna-matsna”/ dua-dua… /
1. Rasulullah saw sholat 4 – 4- 3 menurut Zhair hadits,
2. Rasulullah saw sholat 2-2-2-2-2-1, dikuatkan dengan hadits yang lain (lihat Shohih muslim bab sholat Lail)
3. Rasulullah saw tmelakukan sholat malamnya beragam, pernah 9, pernah juga tiga belas ( lihat di Bukhori dan Muslim mengenai sifat sholat malam beliau)

Tarawih : Kitab Subulus Salaam Syarah bulugul maram karya Imam As son’ani:
Dalam subulus salaam ini dijelaskan sama dengan pemahaman sayyid sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunah, bahwa maksud 4-4-3 ini bisa bermakna 4 roka’at, 4 Roka’at ,lalu sholat 3 Roka’at, bisa juga 2,2,2,2, kemudian witir dengan tiga roka’at sesuai dengan hadits – hadits yang shohih lainnya, perlu dicatat bahwa selama ini terjadi salah pemahaman tentang hadits Aisyah 4-4-3 bahwa itulah hadits tentang sholat Tarawih, padahal itu menunjukan sifat sholatnya Rasulullah saw yang juga disebutkan sifat sholatnya dimalam hari baik ramadhan ataupun selain ramadhan, seperti disampaikan dikitab – kitab lainnya dengan derajat yang shohih, lihat kitab Shohih Muslim dan Bukhari. Sedangkan kesepakatan para ulama mengenai dalil sesungguhnya adalah :

“ man Qooma Romadhona iimaanan wah tisaban gufiro lahu maa taqaddama min dzambih “( berkata al Baihaqi “ diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih dari yahya bin yahya, dan diriwayatkan oleh Al Bukhori dari Abdullah bin Yusuf dari malik, dan seperti itu juga dari Abu Hurairah dalam Riwayat Al Baihaqi dan berkata : diriwayatkan oleh Al Bukhori dari Yahya bin Bakir).lihat Al Mausu’ah al Fiqhiyyah : Wizaarotu al Auqoof wasy Syu’uun al Islamiyyah Kuwait, Fiqhul Islamiy Syaikh At Tuwaijiri bab Sholat Tathowwu, Lihat juga Fathul Baari Jilid 2 bab Sholat Tarawih.

Tarawih : Kitab Shohih Muslim Bisy Syarhi An Nawawi :
Dalam kitab ini Imam Muslim menampilkan bagaimana sifat sholat Rasulullah saw, yang ternyata bukan hanya hadits dari siti Aisyah saja, akan tetapi banyak riwayat lain yang menggambarkan sifat sholat malam Rasulullah saw baik di bulan Ramadhan maupun dibulan lainnya.( lihat hadits diatas yang digaris bawahi semuanya Shohih dengan berbagai sifat yang disebutkan), dimana hal ini pula disepakati oleh Imam Bukhori. Jadi kesimpulan dari Hadits – hadits yang diriwayatkan oleh beliau (Imam Muslim) menunjukan tidak adanya kekhususan dalam melaksanakan sholat malam baik dibulan Ramadhan ataupun dibulan lainnya.


Tarawih : Kitab ‘Aunul Ma’bud syarah sunan Abu Dawud :
Lihat dari penafsiran hadits yang digaris bawahi, bahwa arti “Yusholli Arba’an” berarti empat Raka’at, adapun apa yang dijelaskan sebelumnya mengenai sholat Rasulullah saw Matsna-matsna (dua-dua) boleh jadi dilakukan diwaktu yang lain, sehingga : dua hal yang berbeda dalam pelaksanaannya apakah 4-4-3 atau 2,2,2,2,2,1 merupakan dua pekerjaan yang keduanya boleh dilakukan, karena secara keumumam hadits tidak ada yang memerintahkan sholat 4-4-3 atau 2,2,2,2,2,1 dan sebagainya, karena pada kenyataannya Rasulullah saw sholat dengan rakaat yang beragam dan tidak menetapkan akan jumlah dan cara pelaksanaannya (pen.)

Tarawih : Kitab Nailul author karya Imam Asy Syaukani :
Kesimpulan beliau dalam kitabnya, sama dengan para ulama yang lainnya, bahkan beliau menegaskan barang siapa memendekan sholat yang disebut tarawih dengan membatasi jumlah raka’at serta mengkhususkan bacaan sholat dengan bacaan tertentu, bahwa yang demikian itu tidak ditemukan dalam sunnah Rasulullah saw. ( lihat yang bergaris bawah)
Kesimpulan dari hadits lain bahwasannya siti ‘Aisyah mengabarkan sifat sholat malam Rasulullah saw seperti dibawah ini :

Dari Hadits yang digaris bawahi jelas menunjukan bahwa Rasulullah saw sholat 11 roka’at dengan salam disetiap 2 roka’at kemudian witir dengan satu roka’at.

Penutup :
Dari keterangan – keterangan yang kita dapatkan dari para Ulama salaf seperti diatas menunjukan kepada tidak adanya nash yang Menetapkan jumlah / bilangan dari Raka'at sholat Tarawih. Hal yang sering diperdebatkan selama ini meski jauh dari yang diharapkan yaitu : " bagaimana Sifat sholatnya Rasulullah saw dimalam hari baik Ramadhan ataupun tidak ;yaitu beliau berpanjang-panjang dalam rakatnya menikmati bacaannya,merasakan ketenangan saat membaca kalam Ilahi, sambil berdiri hadapan-Nya.
Masyarakat terjebak dalam pembahasan rakaat sehingga tidak jarang terjadi perpecahan dikarenakan berlebihan dalam bersikap serta menyikapi perbedaan yang terjadi.
Semoga Allah memberi kekuatan kepada kita untuk menyempurnakan pemahaman kita kepada apa yang telah di syariatkan oleh-Nya serta dicontohkan oleh Rasulullah saw.

Memandikan Jenazah sesuai sunnah

Bagaimanakah memandikan Jenazah?seringkali kegiatan ini menjadi sebuah Skill untuk orang-orang tertentu saja, padahal setiap muslim harus berusaha sedapat mungkin untuk mempu menguasai praktik pengurusan jenazah terutama proses memandikan serta mengkafaninya.
MEMANDIKAN MAYAT
Sebelum memandikan mayat, ada beberapa kebutuhan yang perlu kita siapkan diantaranya ialah :
a.Air yang bersih dan suci.
b.Sabun Mandi (sebaiknya yang cair).
c.Kapur barus/kamper +/- 10 biji ditumbuk halus.
d.Kaos Tangan Karet/kain pelindung untuk tangan.
e.Shampo.
f.2–3 handuk besar (disesuaikan dengan kondisi).
g.2 buah ember besar.
h.2 buah gayung.
i.Tempat untuk memandikan mayat.
j.Kain untuk penutup mayat (saat dimandikan).
CARA MEMANDIKAN MAYAT
1.mayat di tempat yang sudah disiapkan, dan posisi kepala diusahakan agar lebih tinggi dari pada kaki
2.Buka bajunya setelah mayat di atas tempat untuk memandikan, dan tutupi bagian auratnya dengan kain yang tembus air, misalkan kain batik/samping/handuk
3.Mula-mula membasuh tubuh sebelah kanan dengan mendahulukan membasuh anggota wudhu ( Membasuh seperti memudhukan mayat seperti dijelaskan dalam shohih Muslim bisyarhi An Nawawi Hal 8 jilid ke 4 ) dengan bilangan ganjil " mandikanlah ia ( mayat ) tiga, lima atau lebih dari itu jika dianggap cukup. (HR Bukhori & Muslim). Namun ada sebagian pemahaman lain bahwa memulai dari anggota wudhu, bukan berarti mewudhukan mayat.
4.Waslap/kaos tangan (HR Abu Dawud) digunakan sebelah kiri untuk membersihkan 2 lubangan (cebok ), saat mencebok siram dengan air, lalu pakai sabun wangi saat menggosok pada kemaluan dan dubur mayat, siram sampai bersih.
5.Cuci rambutnya dengan sampo sampai bersih.
6.Untuk mayat wanita setelah rambutnya dibersihkan kemudian disisir dan kepang tiga. (HR Bukhori & Muslim)
7.Lalu bersihkan giginya, lubang telinga & hidungnya dengan cotton bud.
8.Setelah selesai memandikan bagian depan, lalu miringkan badannya kesebelah kanan dahulu, kemudian gosok dengan sabun bagian punggung mayat lalu siram sampai bersih, kemudian miringkan kesebelah kiri dan bersihkan seperti tadi.
9.Terakhir tuangkanlah atau siramkan air yang sudah dicampur dengan kapur barus keseluruh tubuh mayat. Seperti sabda Rasulullah saw :
“ mandikanlah tiga atau lima atau lebih dari itu dan jadikanlah diakhirnya dengan kapur atau sesuatu seperti kapur”(HR Bukhori )
10.Tutuplah bagian kemaluannya dengan kapas lalu tutup seluruh tubuhnya dengan handuk untuk dikeringkan.( menuntup lubang hanya disyari'atkan apabila diperlukan.
11.Memandikan boleh tiga, lima kali atau lebih jika diperlukan sampai bersih ( HR Bukhori )
12.Khusus untuk memandikan wanita yang hamil jangan digoyang-goyang, hal lainnya sama dengan di atas, akan tetapi harus lebih berhati-hati.
13.Setelah selesai dimandikan dan bersih, lalu siramkanlah air yang sudah dicampur dengan kapur barus yang sudah ditumbuk halus keseluruh tubuhnya ( Lihat Shohih Bukhori & Muslim ), lalu pakaikanlah cawatnya dari kain kafan yang sudah disiapkan sebelumya, dan tutup kemaluannya dengan kapas, lalu tutuplah seluruh tubuhnya dengan kain dan angkat ke tempat yg sudah disiapkan untuk mengkafani

II.MENGKAFANI JENAZAH
Mengkafani Laki–laki sbb :
Alat–Alat yang dibutuhkan untuk mengkafani :
a.Sebelum mayat dimandikan ukur terlebih dahulu panjang mayat, untuk menentukan panjangnya kain kafan.
b.Sediakan kain kafan 12 m dari kaci/katun jika lebar kain 90 cm, dan jika lebarnya 115 cm cukup 10 m.
c.Sediakan tikar polos panjang 2 m lebar 1,5 m.
d.Sediakan tali pengikat dari kain kafan 4 potong untuk bagian ujung kepala, sekitar dada, lutut dan kaki, yang satu ikat panjangnya 1,25 cm, 3 potong lagi 60 cm.
e.Minyak wangi 1 botol.
f.Kapas 1 kg.
g.Kapur barus yang sudah ditumbuk halus.
h.Satu buah gunting besar untuk memotong kain kafan.

Cara menyiapkan Kain Kafan :
1.Potong kain kafan 3/5 lembar berdasarkan panjangnya mayat, dan lebihkan 15/20 cm diatas kepala dan 15/20 cm dibawah kaki.
2.Bila kain kafan dari kaci yang lebarnya 90 cm dan panjangnya 12 m, gunting dulu 4 lembar berdasarkan panjangnya dan sudah dilebihkan 30/40 cm, satu lembar digunting dan bagi dua, jadi dua lembar lebarnya, lalu sambungkan pada kain kafan yang 2 lembar tadi (90 cm) dengan jahitan (mesin/tangan) supaya lebar menjadi 135 cm (90 + 45 cm).
3.Mula–mula hamparkan tikar lalu simpan 4 helai tali yang sudah disiapkan (1 helai 125 cm, dan 3 helai 50/60 cm) dengan susunan sebagai berikut :
Satu helai disimpan dikaki
Satu helai disimpan di lutut
Satu helai di dada / bawah tangan
Satu helai diatas kepala
4.Hamparkan kain kafan yang sudah dipotong dan dijahit diatas tali yang sudah disiapkan.
5.Siapkan satu helai tali -/+ 60 cm dan 1 cawat.
6.Tutupi bagian tubuh mayat dengan kapas yang sudah dilebarkan.
7.Mulai melipat satu persatu kain kafan dari kanan ke arah kiri dan dikencangkan.
8.Ikatkan masing–masing tali yang sudah disiapkan.
9.Tutupkan tikar yang menjadi alas dan Jenazah siap diangkat ke pekuburan
Mengkafani Mayat Perempuan
Cara menyiapkan Kain Kafan :
1.Potong kain kafan 3/5 lembar berdasarkan panjangnya mayat dan dilebihkan -/+ 30/40 cm.
2.Bila kain kafan dari kaci yang lebarnya 90 cm maka panjangnya 12 m dan sudah dilebihkan (poin 1), dua lembar gunting dan bagi dua jadi 4 lembar lebarnya, lalu sambungkan pada kain kafan yang 4 (90 cm) dengan jahitan, ditambah baju, sarung dan kerudung.
3.Gunting satu helai untuk sarungnya, ukur mulai dari pinggang sampai ujung kaki.
4.Untuk baju wanita, gunting satu helai kain kafan dari mulai pinggang sampai setinggi bahu, selebar badannya, lalu beri, lobang ujung lehernya seperti baju oblong, bagian depan dibelah untuk memudahkan memasukan kepala, tanpa jahitan.
5.Gunting satu helai kain kafan untuk kerudung, panjangnya sekedar untuk menutupi kepala dan muka -/+ 60 cm.
6.Gunting satu helai kain kafan kecil untuk cawat setinggi pinggang sampai selangkangan, diberi tali, boleh dijahit atau diberi lobang untuk memasukkan talinya.

Cara menyusun kain kafan :
1.Mula-mula hamparkan tikar, lalu simpan 4 helai tali diatas tikar dengan susunan sbb :
i.Satu helai disimpan di kaki
ii.Satu helai disimpan di lutut
iii.Satu helai disimpan di dada/tangan
iv.Satu helai disimpan di atas kepala
2.Simpan 4 helai tali lagi di atas tikar dengan susunan yang sama seperti poin satu, hanya tali yang ukuran 60 cm
oSatu helai di kaki
oSatu helai di kepala
oDan satu yang ukuran 125 cm disimpan ditengah
3.Simpan 4 helai kain kafan yang telah disambung diatas tadi lalu simpan kain sarungnya, lalu bajunya sambil dibuka dan dilebarkan sampai keatas bagian baju yang dibelah, agar memudahkan menutupnya.
4.Kain untuk kerudungnya hamparkan di bawah kepala dan jangan dulu ditutup.
5.Setelah mayatnya dibaringkan tutup kedua kakinya dengan kapas, begitupula tangannya dengan kapas yang sudah dilebarkan sampai siku dan terakhir untuk menutup matanya.
6.Mula-mula lilitkan kain sarungnya dari arah kanan ke kiri lalu kencangkan supaya rapi, baru tutupkan bajunya dan tutupkan kepadanya lapisan pertama.
7.Lapisan kain kafan yang kedua dililitkan lagi seperti di atas, lalu yang ketiga dan seterusnya sampai terakhir, tarik ujungnya (sebelah kaki ) diputar dan diikat.
8.Mulai mengikatkan tali yang sudah disiapkan, dan bagian kepala/wajah ditutup terakhir sampai keluarganya ada kesempatan melihat/mencium wajahnya.
9.Bila semua sudah melihat, maka tarik bagian ujung kepala putar dan ikat.
10.Jenazah siap diangkat ke pekuburan.